Minggu, 02 Agustus 2020

MENAJAMKAN PANCA INDRA

Kegagalan terbesar seseorang bukan karena Ia tidak bisa meraih sebuah prestasi, melainkan karena ia gagal memahami fakta kebenaran yang sudah jelas di hadapannya. Penyebabnya adalah karena lemahnya sensor panca indranya menyerap informasi kebenaran internal maupun eksternal, sehingga bisikan kebenaran tidak terdeteksi di hatinya.

Untuk mengatasi hal ini yang harus dilakukan adalah melatihnya. Sebagaimana para pemain bola terkenal, keahlian yang dimilikinya diawali dari latihan. Demikian pula  panca indra kita. Ia perlu latihan untuk mampu menangkap semua signal kebenaran yang ada disekitarnya. Melatih indra pendengaran, penglihatan, penciuman, peraba dan tak kalah pentingnya adalah indra fikiran dan hati. Saat semua indra yang kita miliki terus kita asah sampai tajam, kebenaran dari berbagai arah dan berbagai sudut akan sangat mudah terdeteksi dan pada akhirnya mampu kita serap menjadi sebuah kekuatan fikirian yang mampu kita gunakan untuk merefleksikan sebuah kebenaran yang akan menginspirasi orang lain.

Melatih menajamkan panca indra sehingga peka terhadap kebenaran yang ada disekelilingnya itu sangat penting. Sebab, panca indra yang tidak terlatih ia akan menjadi sangat lemah dan bisa menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Keitka panca indra sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka ia tidak bisa lagi mendeteksi kebenaran yang ada di sekitarnya bahkan meskitpun kebenaran itu sudah disodorkan di hadapannya, ia tetap tidak mampu melihat, mendengar dan merasakannya. Inilah yang telah difirmankan oleh Allah SWT : 

 وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ 

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Q.S. Al A’raf 179).

Kemudian dipertegeas pula dalam surah Al Ahqaf ayat 26 :

وَلَقَدْ مَكَّنّٰهُمْ فِيْمَآ اِنْ مَّكَّنّٰكُمْ فِيْهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ 

“Dan sungguh, Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan telah mengepung mereka.”

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa mereka tidak memanfaatkan sesuatu pun dari indra-indra ini yang telah dijadikan oleh Allah sebagai sarana untuk mendapat hidayah.

Jadi, kebenaran sesungguhnya sudah sangat jelas. Namun, karena lemahnya panca indranya bahkan tidak berfungsi sehingga tidak bisa dimanfaatkan sebagai sarana mendapatkan kebenaran dari Allah SWT berupa hidayah. Hal ini tentu menjadi sebuah kegagalan dan kerugian yang sangat besar. Meskipun ia kelihatannya adalah orang yang pandai, orang yang terpandang, bahkan meskipun ia adalah seorang tokoh yang disegani. Namun jika tidak mempu menyerap kebenaran ilahiyah maka mereka sebenarnya tak ubahnya seperti hewan bahkan lebih rendah menurut Al Qur’an. 

Hal ini akan sangat mudah kita lihat dalam kehidupan saat ini, dan tentunya harusnya menjadi pelajaran bagi kita sekalian. Bahwa betapa banyak manusia terlihat pandai dalam kehidupan dunia namun sesunggunya kepandaian itu tidaklah cukup dihadapan Allah SWT. 

يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ 

“Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (Q.S. Ar Rum : 6)

Dr. Attabiq Luthfi, MA mengatakan bahwa ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik di akhirat kelak.

Kesemuanya disebabkan karena kemewahan dan kesenangan tipuan dunia telah merusak panca indra mereka, sehingga menjadikan mereka lalai dari kehidupan yang sesungguhnya yaitu akhirat. Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka.

Sikap lalai terhadap kehidupan akhirat merupakan kegagalan besar seseorang dalam memaknai sebuah kebenaran. Bagaimana tidak, merasa cukup puas dengan kesenangan dunia yang telah ia rasakan lalu lupa dengan jalan kesenangan di akhirat.  Merasa bangga dengan segala kemegahan, kemewahan, serta kekuasaan di dunia lalu mengabaikan segala kemegahan dan kemewahan yang disiapkan Allah SWT di akhirat. Sungguh inilah yang sebenar-benarnya kegagalan.

Olehnya itu, agar kita tidak termasuk orang yang gagal, hendaklah kita berusaha menajamakan panca indra kita. Melatihnya agar peka dan mampu merespon setiap gelombang signal kebenaran yang dibisikkan oleh Allah SWT. Dengan demikian, setiap kebenaran yang telah diserap oleh panca indra kita mampu kita ekspresikan melalui tutur kata dan perilaku yang indah sehingga orang lain pun dapat mengambil kebaikan melalui diri kita yang sudah terlebih dahulu memilki panca indra yang tajam, dan pada akhirnya mengalirlah kebaikan tiada henti pada diri kita sendiri sebab kita telah meninggalkan jejak kebaikan sebagai amal jariyah. Hal inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya :

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ 

“Kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, maka mereka akan mendapatkan pahala yang tidak ada putus-putusnya.” (Q.S. At Tin : 6)

Demikian pula telah dijelaskan dalam hadtis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, hadits dari sahabat Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من دَلَّ على خيرٍ فله مثلُ أجرِ فاعلِه

“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya” (HR. Muslim no. 1893).

Itulah yang dijanjikan oleh Allah SWT kepada mereka yang bisa memfungsikan panca indranya dengan baik untuk menyerap setiap kebenaran ilahiyah dan mampu mengejawantahkannya (menjelmakan) dalam sikap tutur kata dan perilaku yang indah berupa akhlakul karimah. Insya Allah.

Wallahu A’lam Bishshowab.

Mari berbagi kebaikan, karena berbagi itu indah

MENAJAMKAN PANCA INDRA

Kegagalan terbesar seseorang bukan karena Ia tidak bisa meraih sebuah prestasi, melainkan karena ia gagal memahami fakta kebenaran yang suda...